Kamis, 23 September 2010

Inikah Buah Profesionalisme?

21 Sep 2010 07:09 PM
Pengirim: bobotoh1980

Inikah buah profesionalisme?
Penulis: Bobotoh Tasik

Sebagai seorang bobotoh sejak jaman Persib laga tingkat kampung, mendengar kemelut di tubuh Persib selepas aksi Markus dan boikot pemain yang berbuntut pengunduran diri pelatih Darko, saya sangat kecewa. Mungkin saya tidak berhak kecewa karena Persib saat ini sudah berstatus swasta, berpelat hitam, dan bukan lagi dibiayai urunan oleh warga Bandung melalui APBD. Pak manajer mungkin merasa lebih memiliki Persib karena berjasa mendatangkan banyak pemodal. Tapi, saya barangkali satu dari jutaan orang yang membuat Persib besar dan karenanya menarik perhatian investor untuk menimba keuntungan dari uang yang ditanam di Persib setelah Persib menjadi klub profesional.

Yang membuat saya kecewa adalah ketika harapan juara yang muncul dengan kehadiran pelatih yang berkarakter hancur akibat aksi boikot pemain yang didukung manajer. Dan boikot terjadi setelah ulah seorang pemain bernama Markus Haris Maulana, alias Markus Horison, kiper Timnas yang dibuang Rene Alberts, yang baru setengah musim bersama Persib, yang baru ikut latihan tiga hari bersama Darko. Padahal dia seharusnya ingat bahwa salah satu alasan Darko tidak mengontrak Kosin adalah Markus, dan karena lebih memilih Markus dari Kosin, Darko ditekan bobotoh.

Gonzales, pemain paling senior di Persib, sangat disayangkan tidak mencegah aksi ini. Dia mengatakan pernah memiliki pelatih sekeras Darko di Uruguay, tapi delapan tahun lalu. Apakah bukan kebaikan Darko yang mengingatkan Gonzales jika untuk tetap bisa berprestasi musim ini, ia yang berusia 35 tahun harus menurunkan berat badannya yang sudah kegemukan? Apakah pernah ada di Indonesia pelatih yang peduli dengan berat badan pemain? Pemain sekaliber Maradona pun menurun prestasinya saat badannya mulai menggemuk.

Pemain muda Persib juga lupa, bahwa adalah program Darko untuk membuat tim yang memiliki cukup banyak pemain muda. Darko berupaya memberdayakan pemain U-21. Pak Manager tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan dan mengupgrade pemain muda potensial. Yang dipikirkan hanya merekrut pemain-pemain bintang yang diharapkan secara instan membuat Persib juara. Padahal 2 musim dibawah manajemennya, Persib selalu bertaburan pemain bintang. Tanpa target jangka panjang Darko, mereka semua tidak akan pernah dilirik manajemen. Tidakkah ingat nasib pemain U-21 tahun lalu dibawah duet Umuh-Jaya Hartono? Tidakkah juga sadar bahwa kemampuan mereka sangat minim sehingga dengan enak dibantai 6-0 oleh Sriwijaya FC? Tidakkah mereka sadar bahwa Darko peduli dengan masa depan mereka?

Pemain lapis ke dua juga lupa (R. Affandi, Jejen, Abdurrahman, dan yang sekelas) bahwa kalau bukan Darko, mereka tidak akan direkrut, karena Pak Manajer lebih suka mengambol Zah Rahan, Abanda Herman, dan pemain-pemain bintang supaya Persib bisa juara tahun ini? Karena lebih memilih kalian, Darko dikritik bobotoh dan manajemen. Kalian pernah dengan bangga mengatakan "bangga ikut seleksi Persib". Padahal manajemen berusaha untuk memperpendek masa seleksi dengan mengultimatum Darko supaya pemain bintang bisa direkrut dan kalian dibuang. Tapi kalian malah ikut memboikot.

Pemain juga lupa bahwa waktu persiapan tinggal tiga pekan dan tidak merasa bahwa, meski sudah bermain dan berlatih tahunan, mereka tidak pernah bisa tampil energik selama 90 menit? Apakah itu yang disebut pemain sepak bola profesional? Hanya mampu bermain 45 menit setelah itu loyo? Setiap pulang berlibur kembali lupa cara bermain sepak bola dan bahkan jadi loyo? Apakah tidak malu dikatakan oleh asisten pelatih bahkan mengumpan lambung dalam latihan saja tidak akurat?

Manajer juga telah lupa kewenangannya. Apakah Pak Manajer sudah merasa lebih tahu masalah teknis dan lebih pintar dibandingkan pelatih? Padahal, selama di bawah pimpinannya, banyak urusan manajemen yang tidak tuntas: tiket kriting, calo, mess yang acap bocor, dan bahkan untuk menemukan solusi lapangan untuk latihan saja tidak bisa.

Berkacalah pada kemajuan sepak bola Korea Selatan dan Jepang. Ingat bagaimana Guus Hiddink melatih tim Korea Selatan? Tahun itu, pemain Korea sudah jauh lebih pintar dari pemain Indonesia. Tapi mereka tidak protes meski di”bodoh-bodoh”i dan di”siksa” Guus Hiddink apalagi sampai boikot. Hasilnya, mereka bisa berlari kencang selama 90 menit dalam 8 pertandingan selama 4 pekan. Sekarang sebagian sudah bermain di Eropa, dan semakin lebih pintar dari pemain Indonesia. Tapi pemain Persib, setiap kekalahan, salah satu alasannya yang dipakai adalah kelelahan.

Itulah yang disebut profesional oleh pemain Persib. TC yang cuma 5 hari dengan aturan yang ketat dianggap penjara. Padahal semuanya demi kebaikan mereka sendiri. Komunikasi dijadikan alasan, padahal dengan komunikasi a la Indonesia di masa Jaya Hartono pun mereka tidak berprestasi. Merasa bangga bahwa tidak masalah di bawah pelatih siapa saja, karena mereka merasa sudah profesional. Padahal di bawah Jaya Hartono, mereka tidak bisa membuktikan diri sebagai pemain bintang, apalagi di bawah Robby Darwis-Yusuf Bachtiar. Juga seharusnya, saat mereka dipanggil timnas dengan pelatih siapa saja, mereka bisa juara AFF tanpa TC berbulan-bulan.

Sebagai bobotoh, saya sudah kecewa. Harapan utama saya bukan ingin melihat Persib juara, tetapi ingin melihat sebuah tim yang berkarakter. Seperti tim 1980, tim yang tidak bertaburkan bintang nasional kecuali satu dua, tapi memiliki teknik bermain yang dikenal dan tetap dikenang untuk zamannya. Tim sekarang, dengan 5 pemain nasional, 5 pemain asing, tidak ada bedanya dengan tim lain: menang di kandang, kalah di tandang, dan bertaburan kartu kuning.

Kekecewaan saya tidak akan terobati dengan mundurnya H. Umuh dan dipecatnya Markus. Tapi, tetap, Pak Umuh harus mundur dengan mengaca pada prestasinya 2 tahun terakhir dan Markus harus dipecat.

Bobotoh Persib,


http://www.vikingpersib.net/index.php?topic=1230.0

Surat daru Ariel untuk bobotoh

http://yfrog.com/6chfjsyj

Jumat, 17 September 2010

Batu Terapung Peninggalan Nabi Muhammad saw


Riwayat Isra' Mi'raj dalam Kisah Para Nabi disinggung sebagai "hajar" tempat berpijak Nabi Muhammad saw ketika Mi'raj kelangit ingin ikut bersama Nabi Muhammad saw benar-benar ada. Sebagai mu'jizat, Nabi melarang batu itu ikut dan memerintahkan batu tersebut kembali ketempat asalnya semula. Ada yang
mengatakan riwayat ini termasuk dho'if (lemah).

Batu yang dimaksud masih ada sampai sekarang, tepatnya terletak di bawah Qubbah Sakhra (disebut Mesjid Umar Ibn Khattab, karena Umar bin Khattablah
yang semula membangunnya), bukan terletak di dalam Mesjid Al-Aqsha. Antara Masjid Umar dan Masjid Aqsha dibatasi oleh lapangan luas.


Penulis pribadi alhamdulillah sudah berkesempatan dengan izin Allah berkunjung beberapa kali ke Baitul Maqdis (Jerusalem) dan shalat di sana,
terakhir tahun 2001 dari Damaskus. Kunjungan saya pertama ketika bersama-sama dengan pasukan PBB Garuda VIII tahun 1975, dilanjutkan
kunjungan berikutnya ketika bertugas sebagai wartawan LKBN Antara untuk Cairo dan Timur Tengah. Kunjungan penulis ikut bersama rombongan Presiden
Anwar Sadat (1977) dalam kunjungan spektakuler bersejarah missi perdamaian Anwar Sadat setelah perundingan Camp David tercapai dan menginap di King
Daud Hotel yang terkenal itu. Kunjungan ini bulan Nopember 1977 bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, dimana rombongan Pres. Sadat shalat Idul Adha di
Masjid Al-Aqsha.

Dalam kunjungan-kunjungan itu, saya berusaha menyaksikan kebenaran "batu melayang" itu. Ternyata memang ada batu itu, dahulu konon memang terpisah
(melayang) tetapi sekarang tidak terputus seperti yang ditulis, tetapi masih menyambung dengan tanah dan sudah dibangun tangga untuk turun naik. Ketika
kita berada dibawah batu tersebut dapat melihat dengan jelas bahwa batu itu menyatu dengan tanah (sekarang), hanya terangkat dari tanah lebih kurang 2
meter sehingga kita dapat berdiri dibawahnya. Konon, batu inilah yang diperintahkan Rasulullah untuk tidak ikut mi'raj bersamanya dan tetap berada
di tempatnya. Ketika ditanyakan kepada penjaganya dijawab memang benar.

Riwayat ini kami terima turun temurun sebagai penjaga Masjidil Aqsha.
Adapun dalam foto terlihat bahwa batu seperti terlepas/terpisah, kemungkinan adalah tipuan kamera belaka atau foto itu diambil dari posisi sambungan
antara batu dan tanah cuacanya gelap atau sengaja dikaburkan. Pemerintah Israel (Yahudi) tidak pernah melarang untuk melihat batu tersebut. Apabila
anda berkesempatan berziarah ke Baitul Maqdis dan shalat di Masjid Suci Ketiga itu, silakan melihat sendiri keberadaan batu itu.